Kamis, 16 Februari 2017

Jum'at 17 februari 2017


ATTAUHIDIYYAH DARI MASA KE MASA
 
Pondok Pesantren adalah sebuah kata yang tidak asing lagi bagi insan muslim di bumi nusantara ini, lebih-lebih di tanah Jawa. Sebuah tempat atau pusat kelimuan bagi mereka yang haus akan pengetahuan khususnya pengetauhan ilmu agama islam. Didalamnya menawarakan jutaan pengetahuan dan impian. Orang-orang yang terhanyut didalamnya disebut dengan istilah Santri. Siapa sebenarnya santri itu? Sebagaimana kata pesantren kata santri pun mempunyai pengertian dan versi. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), santri adalah orang yang mendalamai agama islam, orang yang beribadah dengan sunguh-sungguh dan soleh. Para ilmuan tidak sependapat dan saling berbeda tentang pengertian ini, ada yang menyebut santri diambil dari bahasa “Tamil” yang berarti guru mengaji, ada juga yang menilai kata santri berasal dari kata india “Shahtri” yang berarti orang yang memiliki pengetahuan tentang kitab suci. Selain itu pendapat lainnya meyakini bahwa kata santri berasal dari bahasa “Cantrik” (Bahasa sansekerta atau jawa) yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedangkan versi yang lainnya menganggap kata santri sebagai gabungan dari kata “Saint” (manusia baik) dan kata “Tra” (suka menolong), sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik. Dalam praktek bahasa sehari-hari, istilah santripun memiliki banyak arti, pengertian atau penyebutan. Kata santri masih suka-suka alias menyisakan pertanyaan yang lebih jauh, santri apa yang mana dan bagaimana? Ada santri profesi, ada santri kultur.  Santri Profesi adalah mereka yang menempuh pendidikan atau setidaknya memiliki hubungan darah dengan pesantren. Sedangkan Santri Kultur adalah gelar santri yang disandangkan berdasarkan budaya yang berlaku dalam kehidupan masyarakat. Dengan kata lain, bisa saja orang yang sudah mondok tidak disebut santri, karena perilakunya buruk. Dan sebaliknya orang yang tidak pernah mondok dipesantren bisa disebut santri karena perilakunya yang baik.
Dari segi metode dan materi pendidikan, kata santri pun dapat dibagi menjadi dua bagian, ada santri modern dan ada santri tradisional[1]. Seperti juga ada pondok modern dan ada pondok tradisional. Sedang dari tempat belajarnya, ada istilah santri kalong dan santri tetap. Santri kalong adalah orang yang berada disekitar pesantren yang ingin menumpang belajar dipondok pada malam hari. Tentu saja hal ini merupakan reaksi bahasa atas perkembangan yang terus terjadi dimasyarakat. Dan terlepas dari berbagai perbedaan pendapat mengenai hal ini, kiranya perlu digaris bawahi bahwa santri sebenarnya adalah produk spesifik budaya indonesia yang tiada duanya. Eksistensinya yang terus bertahan dan berkiprah melewati berbagai tantangan zaman patutlah dicatat sebagai tinta emas sejarah bangsa. Seperti juga kyai, posisi santri memiliki peran dan kedudukan yang juga terhormat dimata masyarakat indonesia. Kata santri konon bukan dari kosakata bahasa arab, apalagi bahasa indonesia. Santri adalah kosa kata serapan dari bahasa sansekerta yang artinya hampir ada kemiripan dengan yang berlaku di nusantara sekarang ini, yaitu orang yang mendalami agama hindu menurut fersi sansekerta, mungkin dari dasar tersebutlah para wali yang membawa ajaran agama islam di bumi nusantara ini menggunakan kata santri sebagai nama juga istilah bagi orang-orang yang mendalami agama, tapi dalam fersi lain.
Agar misi dakwah mereka membawa ajaran islam yang rohmatan lil’alamin kepada warga pribumi tercapai yaitu dengan mengislamkan warga pribumi tanpa merubah kultur budaya yang telah berlaku pada masa itu. Lambat laun sedikit demi sedikit tanpa terasa banyak budaya mereka yang dialihkan dan diarahkan kepada ajaran syariat agama islam yang dibawa oleh para wali saat itu.
Lantunan Ayat Suci Al-Qur’an di Tengah Hutan
            Cerita bermula dari anak kecil yang sedang menggembala kambing di hutan (alas) yang sangat lebat pepohononnya, yaitu di daerah perbukitan, Kecamatan Jatinegara Kabupaten Tegal. Dikisahkan bahwa anak penggembala itu yatim piatu, kedua orang tuanya telah meninggal dunia, hingga akhirnya anak tersebut hidup bersama pamannya[2]. Hari itu tidak seperti biasanya, sang anak yang biasa pulang dari menggembala sore hari, tapi sudah datang waktu maghrib anak tersebut masih belum pulang juga. Sang paman yang telah menunggu di rumah kala itu diam seribu bahasa, ada apa gerangan dengan keponakanku sudah maghrib belum juga pulang? Tanya sang paman dalam hati. Setelah beberapa waktu kemudian barulah sang keponakan itu pulang dengan sangat tergesa-gesa karena takut dimarahi oleh sang paman. Akhirnya anak itu pun meminta maaf kepada pamannya perihal keterlambatannya pulang.
            Kemudian sang paman bertanya kepada keponakannya, “wahai keponakanku, ada apa gerangan, mengapa engkau baru pulang sampai larut malam begini?” tanya sang paman. Sang keponakanpun menjawab dengan jujur dan lugunya serta menceritakan apa yang telah dialaminya pada waktu di hutan sana. Sang keponakan menjawab “Wahai paman, saya ketika menggemabala kambing di tengah hutan, tiba-tiba mendengar suara lantunan ayat suci Al-Qur’an yang sangat indah, kemudian saya heran dibuatnya, kenapa ada orang yang baca Al-Qur’an seindah itu ditengah-tengah hutan selebat ini? tanyaku dalam hati. Akhirnya saya cari sumber suara itu, setelah berjalan dan mencari-cari akhirnya kulihat di tengah hutan itu ada sebuah gubug, lalu kudekati dan kuintip perlahan dari sela-sela pagar rumah gubug itu. Setelah aku intip, ternyata di dalamnya ada seseorang yang asyik membaca Al-Qur’an dengan suara yang merdu nan indah. Setelah aku mendengarkan lagi akhirnya aku terbuai serta larut dalam suasana hening yang menenangkan jiwa dibalut dengan lantunan suara Al-Qur’an nan merdu itu. Setelah kusadari akhirnya aku bergegas pulang, karena ternyata hari sudah cukup malam, cerita sang keponakan pada pamannya”.
            Setelah beberapa waktu kemudian sang anak itu mendesak pada pamannya, agar dia diizinkan untuk menuntut ilmu agama, karena terinspirasi dengan orang yang membaca Al-Qur’an di hutan kemarin. Sang paman akhirnya mengizikan padanya untuk mencari ilmu agama demi menggapai apa yang dicita-citakan keponakannya itu. Diantarkanlah sang ponakan yang bernama “Armia” itu disebuah pesantren atau pondok disalah satu Kyai di daerah Lebaksiu yaitu Kyai Umar, desa Kesuben Kecamatan Lebaksiu Kabupaten Tegal. Karena kecintaanya pada ilmu agama, Gus[3] Armia kecil rela meninggalkan keluarganya demi cita-citanya yang mulia. Gus Armia pun mulai betah di Pondok, sehingga beliau sendiri akhirnya terbiasa dengan model kehidupan pesantren yang sarat dengan tirakat dan kehidupan yang sangat prihatin. Kesederhanaan dan keterbatasan yang terjadi pada beliau tidak lantas mengurangi kesemangatan dalam belajar agama. Meskipun masih muda, namun beliau mempunyai kesemangatan yang demikian mengebu. Hari berganti berganti, bulan berganti bulan, akhirnya setelah beberapa tahun, karena kecerdasannya Gus Armia kecil dianggap lulus oleh sang Kyai di pesantren beliau mondok. Kecerdasan yang luar biasa itu dibuktikannya dengan cepatnya beliau dalam menangkap serta menyerap pelajaran yang telah disuguhkan oleh guru-gurunya, bahkan beliau diangap sebagai anak emas oleh Kyainya, sehinga setelah beliau dianggap lulus, akhirnya diantarkanya beliau ke sebuah pesantren yang terletak di daerah Sumyuk (Banyumas) oleh kyainya guna melanjutkan belajarnya.
            Setelah beberapa waktu mukim disana, lagi-lagi kejadian yang sama pun terjadi, seperti yang dialaminya ketika mondok di daerah Lebaksiu. Kemudian setelah dianggap cukup oleh pengasuhnya, maka Gus Armia diantarkan lagi kesebuah Pesantren di daerah Jawa Barat, Asuhan Kyai Anwar, Arjawinangun, Cirebon. Sunguh alangkah bahagianya hati beliau. Merupakan suatu kehormatan jika ada seorang santri dipindahkan oleh gurunya untuk menimba ilmu di pesantren lain, apalagi diantar langsung oleh sang guru itu sendiri. Kemudian setelah lama mondok di daerah Cirebon sebagai akhir dari belajarnya, beliau labuhkan cita-citanya di pondok Pesantren Mbah Anwar (Lemahduwur), seorang ulama kharismatik di Kabupaten Tegal dan disanalah beliau bertemu dengan calon-calon ulama seperti Kyai Soleh Pekuncen, Kyai Romdhon (Kakek Nyai Hj. Jamilah) dan Kyai Abu Ubaidah yang kelak akan menjadi besan beliau, mertua dari putra beliau yang bernama Gus Sa’id.
KH. Abu Ubaidah bin Kyai Syaikhon (W. 1936 M.)
            Pondok Pesantren Attauhidiyyah dalam sejarahnya tidak bisa terlepas dari peranan ulama Kharasmatik ini, putra pribumi sekitar era 1870-an M, dikala bangsa Indonesia masih dalam keadaan carut-marut karena berada dinaungan pemerintahan Kolonial Belanda. Begitu pula ekonomi global yang masih berada dalam posisi yang mengenaskan, hal ini jelas telah mempunyai dampak yang luar biasa pada perekonomian masyarakat, apalagi dalam permasalahan agama. Maka dari itu sepulangnya beliau dari petualangannya mencari ilmu agama dari beberapa ulama di Tanah jawa ini, ditambah dengan keyakinannya yang kuat dan bertawakal kepada Allah SWT, akhirnya memutuskan untuk mendirikan sebuah Majlis Ta’lim di rumah beliau sendiri yang berada di komplek Masjid Dukuh Giren Kecamatan Talang Kabupaten Tegal, yang sekarang terkenal dengan sebutan Masjid Ubaidiyyah, dalam rangka mengamalkan serta menyebarkan ilmu agama yang telah dienyamnya bertahun-tahun di Pondok Pesantren. Notabene beliau meneruskan pendahulunya yaitu Mbah Giri, seorang Ulama yang konon beliau adalah kerabat dari Sunan Giri bahkan ada yang mengatakan sebagai Sunan Giri sendiri. Makamnya terletak di pemakaman umum masyarakat Giren sebelah utara masjid Giren.
            Putra kedua dari tiga bersaudara anak dari Kyai Syaikhon, ketika muda memang tergolong anak yang gemar dan cinta ilmu agama. Tentang dimana dan siapa saja guru-guru beliau tidak ada sumber yang menceritakan dengan pasti, namun diceritakan bahwa termasuk guru-guru besarnya adalah Ulama besar dari Jawa timur yaitu Syaikh Ubaidillah, Mbah Kholil Bangkalan (1820-1925 M.) disamping beliau menimba ilmu disana, konon kabarnya beliau juga dipercaya sebagai salah satu staf pengajar disana. Dan termasuk gurunya lagi adalah seorang Ulama karismatik dari Tegal yaitu Mbah Anwar Lemah duwur, seorang Ulama lokal yang menghembuskan nafas terakhirnya di Makkatul Mukarromah.
            Dengan penuh perjuangan, ketabahan serta kesabaran Mbah Ubaidah mendidik santri-santrinya. Pada awalnya mungkin pondok atau majlis ta’limnya dibuka dengan sangat sederhana, hanya beralaskan tikar dinaungi dengan rumah yang sederhana pula. Setelah beberapa waktu kemudian berkembanglah pondok tersebut. Kabar tentang pondoknya pun tersebar ke berbagai wilayah sampai kepelosok negeri ini. Hingga akhirnya santrinya mulai banyak berdatangan, baik yang datang dari dalam maupun luar daerah Tegal sendiri. Beliau adalah seorang Kyai yang mencetak para Kyai. Banyak dari santri-santrinya yang mampu menggoreskan tinta emas dalam sejarah Agama dan bangsa ini. Sebut saja Mbah Harun bin KH. Abdul Jalil, Muassis pondok pesantren Kempek Ciwaringin Cirebon, Beliau pun pernah menimba ilmu dari Kyai Ubaidah, juga Kyai Mufti (sesepuh Babakan Tegal) serta Abuya Dimyati (Banten) pun pernah nyantri pada beliau, juga tidak lupa murid sekaligus menantu beliau yaitu KH. Said bin KH. Armia dan masih banyak lagi santri-santri beliau yang sekarang menjadi orang besar baik di kabupaten Tegal sendiri maupun diluar Tegal.
            Banyak cerita dan kejadian yang menarik yang terjadi dikehidupan Ulama Alim, Amil, serta Abid (ahli ibadah) ini. Diceritakan ketika era 1928-an M, Hadrotus Syaikh KH. Hasyim  Asy’ari (1871-1947 M) pendiri Nahdhatul Ulama, sebelum mendirikan organisasinya pernah bertandang sowan kepada beliau untuk meminta restunya. KH. Ubaidah diberi gelar kehormatan sebagai “Al-Asy’ari Dzaka Zaman” karena kecakapan dan keahliannya dalam bidang ilmu Tauhid (teologi). Sehingga tidak mengherankan ketika beliau mendapat undangan kehormatan dalam rangka dialog ilmiyyah tentang Akidah dengan Mufti Makkah yaitu Sayyid Zaini Dahlan, seorang mufti abad 19-an, bersama Ulama Timur Tengah pada waktu itu.
            Juga kejadian di daerah Tegal Sari pada waktu ada seorang jenazah yang tidak ada seorangpun yang hendak menyolatinya, karena tidak ada seorang yang pernah melihatnya melakukan sholat semasa hidupnya, baik dari pihak keluarga maupun tetangga, dengan dasar inilah para warga sekitar enggan menyolati sang jenazah tersebut. Akhirnya permasalahan itu pun dilaporkan ke KH.Ubaidah, lalu sang Kyai menyelidiki dengan mencaritahu pada pihak keluarga, apakah benar yang diberitakan oleh para warga tentang jenazah ini. Pihak keluargapun membenarkan apa yang dikabarkan oleh para warga. Kemudian sang Kyai bertanya kembali tentang apa yang dilakukan sang jenazah semasa hidupnya ketika bulan Maulid tiba, lalu pihak keluarga menceritakan kebiasaannya ketika masuk bulan Maulid, bahwa  dia sangatlah senang juga gembira, di buktikannya dengan selalu memberi serta membagikan makanan-makanan pada warga sekitar ketika bulan Maulid datang. Akhirnya sang Kyai pun memerintahkan pada warga sekitar agar segera menyolati sang jenazah, karena orang yang menghormati maulid ada jaminan langsung dari Shohibul Maulid Sholallahu ‘alaihi Wasallam....... Allahu Akbar.
            Pepatah mengatakan semakin pohon itu tinggi, semakin besar pula angin yang menerpanya. Begitu pula yang terjadi pada Sang Kyai ini, bukan berarti tanpa ujian dan cobaan beliau mendapatkan kedudukannya sekarang ini , entah berapa banyak ujian dan cobaan yang telah beliau lampaui. Baik yang berbentuk dzohir maupun bathin.
Cahaya Terang Menjulang Tinggi
            Seiring waktu berjalan, maka teman seperjuangannya ketika masih nyantri di Mbah Anwar, yaitu KH. Armia bin Kyai Kurdi, mengirimkan putra sulungnya yang bernama Gus Sa’id guna mondok di pesantren beliau. Hari demi hari berlalu, tidak membutuhkan waktu yang lama bagi Gus Sa’id untuk beradaptasi di tempat baru, karena sebelumnya beliau juga telah punya pengalaman mondok sebelum disini. Gus Sa’id mulai terbiasa dalam keadaan pondok yang cukup sederhana pada waktu itu. Meskipun Gus Sa’id putra seorang Kyai, apalagi ayahanda beliau adalah teman dekat sang pengasuh, tapi Gus Sa’id tidak merasa besar kepala dan mendapatkan perlakuan yang istimewa sebagaimana sikap orang pada umumnya, malah dengan kehidupan sederhananya dijadikan olehnya sebagai pemicu penyemangat dalam memperdalam ilmu agama. Banyak petuah-petuah yang beliau dapatkan dari sang Kyai yang Arif billah serta waskito ini. Waktu pun terus berputar Gus Sa’id kecil mulai tumbuh dewasa. Memang sang Kyai melihat anak ini sangat berbeda dengan anak-anak yang lain, biarpun Gus Sa’id tidak merasa istimewa namun sang Kyai melihatnya sebagai sosok yang cukup istimewa.
            Ternyata anggapan sang Kyai pun terbukti, kala itu ketika hari sudah larut malam ketika sang Kyai berjalan di dalam Masjid, ternyata terpancar nur (cahaya) yang menjulang tinggi kelangit diantara santri-santri yang tidur terlelap itu, setelah didekati dan dilihatnya ternyata pusat dari cahaya itu keluar dari dada santrinya yang bernama Sa’id, Beliaupun heran dan kagum padanya. Setelah datang esok hari dipanggillah Gus Sa’id untuk sowan menghadap sang Kyai, kemudian beliau bertanya perihal kejadian yang terjadi tadi malam, Gus Sa’id kecil pun menjawab, bahwa tadi malam dia bertemu dengan Rosul serta para Sahabatnya ‘Alaihimussolatu Wassalam.
            Lama sudah Gus Sa’id mondok disana, waktu demi waktu beliau jalani tak jauh berbeda dengan teman-temannya. Akhirnya ketika sudah cukup dewasa Gus Sa’id pun ditunjuk oleh sang Kyai guna menikah dengan putrinya, yaitu Nyai Nafisah, yang konon ceritanya beliau adalah seorang wanita yang telah janda[4]. Dalam pernikahannya, beliau berdua dikarunia seorang putra dan satu orang putri yang diberi nama Gus Mustofa dan Nok Sa’idah[5]. Diceritakan memang pada waktu KH. Ubaidah mondok bareng dengan ayahanda Gus Sa’id yaitu KH. Armia bin Kyai Kurdi di Mbah Anwar, pernah berencana akan besanan kelak ketika masing-masing sudah punya keturunan, ternyata rencana itupun terjadi, Masya Allah. Kemudian disekitar tahun 1930-an barulah beliau berdua menunaikan ibadah Haji. Termasuk kejadian yang tak lazim lagi adalah ketika beliau telah wafat, KH. Sa’id sempat ngaji pada beliau kitab Kifayatul ‘Awam sampai dua belas khataman.
            Tidak berlebihan memang jika banyak orang memuji pada ulama legendaris Tegal yang tak pernah lekang oleh waktu ini. Selain itu, tinta emas yang beliau goreskan tidak hanya diam pada dirinya saja, namun juga bergerak dan berkembang serta mengalir keseluruh urat nadi murid-muridnya hingga mengkristal, sehingga tidak sedikit santri beliau yang akhirnya mengikuti jalan beliau, mengukir sejarah sebagai ulama yang alim dan abid serta disegani oleh banyak masyarakat.
            Namun sayang kiprah beliau sebagai Ulama sejati juga waskito harus berakhir pada tanggal 15 Jumadil Tsani bertepatan tahun 1936 M. KH. Ubaidah dipanggil oleh yang maha kuasa di rumah duka. Kemudian dikebumikan di pemakaman umum desa Giren disamping makam sesepuh Giren yaitu Mbah Giri. Sehingga kepemimpinan Pondok Giren dipegang dan diteruskan oleh murid sekaligus menantu beliau yaitu Kyai Sa’id bin KH. Armia. Tapi lagi-lagi kesedihan menghampiri KH. Sa’id, pasalnya disekitar tahun 1958 M, sang istri  tercinta yaitu Nyai Hj. Nafisah meninggal dunia. Jenazah sang istri tercinta dimakamkan disamping ayahandanya yaitu KH. Abu Ubaidah.
Periode KH. Sa’id bin KH. Armia (1895-1975 M)
            Pada tahun 1895 M adalah tahun yang bahagia bagi pasangan Kyai Armia dan Nyai Aliyyah[6] di desa Cikura Kecamatan Bojong Kabupaten Tegal. Saat itu Allah S.W.T telah memperlihatkan kekuasaan-Nya dengan memberi anugerah seorang bayi yang sangat dinanti, dilahirkan sehat tanpa cacat, bayi yang dilahirkan oleh wanita solehah itu diberi nama Sa’id.
            Selain Gus Sa’id, KH. Armia juga mempunyai beberapa putra dan satu putri yang bernama Kyai Sanadi, Kyai Rois, Kyai Abdul Kholiq[7] dan seorang putri yang bernama Nyai Aminah. Gus Sa’id kecil dibesarkan ditengah-tengah keluarga yang sangat religius. Sangatlah jelas jika hal yang paling diutamakan adalah menuntut ilmu agama, tidak ada sumber yang pasti tentang siapa saja guru-guru beliau, sebelum menginjakkan kaki beliau di pesantren KH. Abu Ubaidah, yang ternyata kelak akan menjadi mertuanya sendiri. Beliau adalah tokoh Ulama yang Arif billah yang alim serta abid. Kepemimpinannya sebagai pengasuh pondok Giren sepeninggalan sang guru sekaligus mertuanya itu di segani oleh banyak Ulama, tidak sedikit para Ulama, baik dari golongan Habaib maupun Kyai yang berdatangan pada beliau untuk sekedar silaturohmi (sowan), tanya jawab ilmiyah, ada juga yang menjadikan beliau sebagai labuhan akhir untuk menjawab beberapa pertanyaan yang tidak bisa dipecahkan oleh selain beliau ini pada saat itu. Diantara para Habaib dan Kyai yang pernah menimba pada beliau adalah Syaikh Ali Basalamah (Jatibarang), Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan), KH. Barmawi (Tegalwangi),  Kyai Mansyur (Kalimati),  KH. Dimyati (Comal), KH. Abdul Malik (Babakan), Hb. Abdulloh (Pasuruan), Habib Salim bin Jindan (Jakarta), Habib Ali bin Husen Al-Atos (Jakarta), Habib Ali bin Abdurrohman Al-Habsyi (Kwitang-Jakarta), dan masih banyak lagi santri-santri beliau.
            Ulama Arif billah ini memang selalu berpegang teguh dengan syariat Rosul sehingga tidak heran jika disetiap beliau pengajian sang pembawa syariat (Kanjeng Nabi SAW) pun sering datang padanya. Diceritakan bahwa ada seorang Ulama bernama Mbah Dimyati (Kedawung-Comal-Pemalang) di majlisnya selalu diadakan khataman kitab Ikhya Ulumudin (Al-Ghozali) pada setiap beberapa bulan sekali, yang konon sering dihadiri oleh Kanjeng Nabi Sollallahu ‘alaihi wa sallam. Tapi kala itu sang Rosul hadir agak cepat tidak seperti biasanya, akhirnya sang Kyai pun bertanya “Kenapa wahai Rosulullah??” Sang Rosul menjawab bahwa beliau akan hadir ke Tegal di pengajiannya Kyai Sa’id di daerah Giren, akhirnya khataman pengajian Ikhya pun yang biasanya selesai lama, tidak seperti biasanya selesai lebih cepat. Karena sang Kyai sangat penasaran, siapakah orang itu, sehingga sang Rosul lebih memilih kesana, akhirnya mungkin sebab karomah atau maunah oleh Allah SWT beliaupun sampai di Giren dan mengikuti pengajian pada Kyai Sa’id yang sedang dihadiri oleh Kanjeng Nabi Solallahu ‘Alaihi Waasallam.
            KH. Sa’id adalah orang yang ahli dalam segala bidang ilmu agama bukan hanya Tauhid saja, terbukti pada suatu saat beliau pernah diundang dalam acara pembagian waris, hadirlah beliau pada tempat tersebut, kemudian berlangsung pulalah pembagian warisan tersebut. Setelah semua ahli waris berkumpul dan bagian masing-masing sudah ditentukan ternyata ada salah satu ahli waris wanita yang tidak setuju dengan semua itu, setelah dijelaskan bahwa ini adalah pembagian yang sah menurut Agama yang berlandas Al-Quran bahwa seorang laki-laki mendapat dua bagian dan wanita mendapatkan satu bagian. Tapi memang sang wanita tersebut masih bersih tegang tidak mau menerima bagiannya, katanya tidak adil dan lain sebagainya. Yang jelas diceritakan bahwa ahli waris wanita tersebut tetap masih tidak terima dengan hukum yang telah diberikan beliau yang berlandaskan Al-Quran.  Akhirnya KH. Sa’id pun angkat bicara dan pengumuman pada para tamu yang diundang pada saat itu, “Para hadirin saksikanlah bahwa wanita ini sudah tidak mau dihukumi dengan hukum yang telah Allah tetapkan dan tidak ridho atau tidak menerima akan itu semua, maka dari itu, jikalau dikemudian hari wanita ini meninggal dunia janganlah dikuburkan di kuburannya orang muslim, karena wanita ini telah keluar dari agama islam (murtad) sebab telah menentang hukum Allah SWT. Kemudian setelah sang wanita tersebut mendengar perkataan beliau, akhirnya menangis dan takut, diakhir ceritanya diapun bertaubat serta bersyahadat atas kesalahannya serta rela atas bagian warisan yang telah dibagi secara agama itu dan mau menerimanya.
            Sudah masyhur walau sang Kyai seorang alim disegala bidang ilmu agama akan tetapi yang paling menonjol pada beliau adalah ilmu tauhid (Teologi), maka dari itu tidak berlebihan mungkin jika beliau mendapatkan gelar kehormatan dan didaulat langsung sebagai anak kesayangan Al-Imam Abu Abdillah Muhammad bin Yusuf As-Sanusi sendiri.
            KH. Sa’id bin KH. Armia dalam rangka menyebarkan serta melestarikan ajarannya sebagai perwujudan cinta pada orang-orang awam dalam rangka mengentaskan kebodohannya, apalagi kebodohan dalam masalah akidah. Beliau sendiri menulis beberapa kitab Tauhid, diantaranya adalah kitab Ta’limul Mubtadi-in Juz 1 dan 2 yang populer dengan sebutan Risalah Awal[8] dan Risalah Tsani.        Dua kitab dengan tulisan pegon dan khas bahasa jawanya ini hingga sekarang masih dikaji di Pondok Pesantren Attauhidiyyah Giren maupun Cikura.
            Tapi tepatnya pada hari Selasa, 20 Rajab 1395 H. / 29 Juli 1979 M. sekitar pukul 10 pagi beliau dipanggil oleh Allah SWT dalam usia 79-an tahun. Sungguh tidak pernah disangka sang Kyai akan dipanggil secepat ini, padahal ketika sholat Subuh hari itu, beliau masih sempat berjama’ah dengan putra[9] beliau ketika masih berada di RSU Kardinah. Yang cukup memilukan dalam kisah meninggalnya adalah ketika di beliau masih di rawat di rumah sakit, dua hari sebelum meninggal dunia berpesan pada santrinya agar diambilkan kain kafan miliknya yang telah dititipkan pada seseorang yang bernama H. Walah, Desa Bandasari Kecamatan Dukuhturi Kabupaten Tegal. Sang santri pun akhirnya mengijabahi permintaan Kyainya. Setelah sampai pada alamat dan orang yang dituju, orang yang merasa dititipi pun dibuat kaget olehnya, ada apa ini? Apakah sang Kyai meninggal dunia? Tidak, jawab santri. Beliau hanya mau mengambil kain kafan yang pernah dititipkan beliau kepada Anda. Setelah lama dicari-cari, mungkin karena waktu menitipkan juga sudah cukup lama, akhirnya ditemukan juga, terlihat warna kain kafan pun agak kusam, santri pun bergegas pulang setelah mendapatkannya, lantas ketika hari Seninnya kain kafan itu pun dicuci. Sebelumnya Sang Kyai ketika masih di rumah sakit juga berpesan pada sang istri agar pengajian rutinan hari Selasa pagi ini tetap dilaksanakan sekaligus diadakan peringatan Isro Mi’roj Nabi Besar Muhammad Saw dan undanglah para Ulama dan Habaib untuk menghadirinya dan Nyaipun melaksanakan perintahnya. Hari Senin pulanglah sang Kyai dari Rumah Sakit menuju rumah tinggal beliau setelah dirawat disana beberapa hari. Hari Selasa pun datang, acara rutinan pengajian pagi dimulai seperti biasanya. Namun kali ini acara lebih meriah dibanding hari-hari biasanya karena banyaknya jama’ah yang hadir juga para tamu undangan, baik dikalangan orang biasa, Kyai maupun Habaib. Pasalnya pengajian itu dilaksakan bersamaan dengan peringatan Isro Mi’roj sesuai dengan amanat beliau yang disampaikan pada istri beliau Nyai Hj. Jamilah. Sang Kyai yang berada di kamar dengan ke istiqomahannya masih menyempatkan melaksanakan beberapa kegiatan ibadah, walau kala itu beliau dalam keadaan lemah karena sedang sakit.
Pagi harinya putra kecil beliau Gus Hasani pamitan untuk berangkat sekolah, sang putra pun tidak punya firasat bahwa Ayahnya akan dipanggil oleh Allah Swt pada hari itu. Setelah istirahat Gus Hasani kecil pulang kembali menghampiri sang ayah yang masih terlihat seperti biasa di rumahnya. Setelah beberapa menit Gus Hasani meminta izin lagi dan pamitan pada ayahnya guna sekolahnya. Setelah beberapa lama masuk kelas, tiba-tiba ada santri yang datang ke sekolahannya kemudian menjemputnya seraya memberitahukan bahwa sang ayah telah meninggal dunia. Waktu mungkin terasa berhenti baginya kala itu, diam seribu bahasa ketika beliau mendengar bahwa ayah tercintanya telah meninggal dunia. Para Jama’ah dan tamu yang hadir tidak percaya itu semua terjadi, tapi apalah itu semua jika Sang Penguasa Alam telah berkehendak, isak tangis pun kala itu mulai pecah, Sang Kyai telah pergi tuk selamanya meninggalkan dunia yang fana ini menuju alam yang kekal kurang lebih pukul 10 pagi. Diceritakan bahwa waktu itu Gus Ahmad putra pertama, Kakak dari Gus Hasani buah hati dari pernikahannya dengan Nyai Hj. Jamilah binti KH. Abdul Manan sedang menimba ilmu di Pondok Pesantren Darul Hadits, Malang dan tidak sampai berjumpa serta ikut mengantarkan jenazah sang Ayah tercinta dalam pemakamannya.
Akhirnya jenazah sang Kyai dimandikan, adapun yang memandikan kala itu hanyalah para Habaib dan satu kyai yaitu Kyai Sanadi (adik KH. Sa’id). Tangis histeri serta detak gagum menghadapi hati setiap orang yang menyaksikan pengungsungan jenazah ke tempat pemakamannya, pasalanya jenazah sang Kyai tidak dibawa atau ditandu oleh empat orang, melainkan sangkin banyaknya penta’ziyah, jenazah sang Kyai dari rumah duka hingga tempat pemakaman seolah-olah berjalan sendiri diatas kepala orang yang berta’ziyah. Kepergian beliau ditangisi serta dielu-elukan oleh banyak orang, seorang Kyai waskito telah pergi, tapi meski demikian jasa dan petuahnya hingga kini masih terasa pada setiap santri dan orang-orang yang mengaguminya. Beliau di makamkan disamping makam KH. Abu Ubaidah dipemakaman umum desa Giren. Maka dari itu kewafatan beliau yang bertepatan dengan 20 Rajab dijadikan sebagai peringatan Isro Mi’roj sekaligus peringatan Khaul beliau hingga saat ini.
Habib Lutfi bin Yahya (Pekalongan) selaku salah satu santri yang pernah mondok pada beliau bercerita bahwa ketika malam Selasa sebelum paginya meninggal, beliau KH. Sa’id sempat mendatangi rumah Habib Lutfi dan beliau mengundang langsung sang Habib agar besok hari Selasa berkenan hadir dalam pengajiannya karena akan diadakan peringatan Isro Mi’roj dan juga akan dihadiri oleh kakek beliau yaitu Kanjeng Rosul Muhammad SAW. Beliaupun tidak menyadari bahwa sang Kyai akan meninggal dunia secepat itu.
Habib Abdullah bin Ahmad Bilfaqih pengasuh Ponpes Darul Hadits Malang, beberapa hari sebelum KH. Sa’id wafat, beliau pernah didatangi oleh Kyai dan Sang Kyai menyerahkan putranya Gus Ahmad pada sang Habib. Padahal masa-masa tersebut sang Kyai dalam keadaan sakit, akhirnya Gus Ahmad pun diberitahu tentang kedatangan Ayahnya oleh sang Habib beberapa saat kemudian, sehingga akhirnya Gus Ahmad diakui sebagai anak kesayangan oleh Habib tersebut.
Penerus KH. Sa’id, Kyai Mushtofa (W.1979 M.)
            Melihat itu semua akhirnya tampuk kepemimpinan pondok pun dipegang oleh putra beliau  dari istri petama Nyai Nafisah yaitu Kyai Mushtofa, cucu dari KH. Abu Ubaidah. Berhubung kala itu putra-putra beliau dari istri Nyai Hj. Jamilah belum cukup dewasa untuk mengemban estafet kepemimpinan Pondok Giren sepeninggalan ayahandanya Kh. Sa’id bin KH. Armia.
            Seiring berjalannya waktu, kegiatan santri pun berjalan seperti biasanya, biarpun sang Kyai Sepuh (KH. Sa’id) telah tiada. Kyai Mushtofa memimpin Pondok Pesantren hanya beberapa tahun aja, hingga akhirnya pada tahun 1979 M. Kyai Mushtofa sakit keras sehingga akhirnya dipanggil juga oleh Allah SWT di desa Pegirikan Kecamatan Adiwerna Kabupaten Tegal kediaman istri beliau. Meskipun beliau mengehembuskan nafas terakhirnya di desa Pegirikan, namun jenazahnya di makamkan di Giren meskipun sebelumnya tarik menarik antara masyarakat Pegirikan yang sudah menggali kubur dan masyarakat Giren yang dominan diperkasai oleh para Habaib juga telah menggali kubur, tapi akhirnya dimenangkan oleh masyarakat Giren hingga akhirnya dimakamkan di Giren juga. Diceritakan bahwa jenazah diusung dari Pegirikan sampai Giren dengan jalan kaki.
            Nasib Pesantren pun fakum setelahnya. Hanya kegiatan santri putri dan pengajian rutinan pada hari Selasalah yang masih tetap berjalan pada waktu itu yang dipimpin oleh Nyai Hj. Jamilah istri tercinta KH. Sa’id bin KH. Armia.
Nyai Hj. Jamilah[10] binti KH. Abdul Mannan (W. 2005) Figur Wanita Solehah
Beliau adalah putri sulung pasangan KH. Abdul Mannan dengan Nyai Hj. Ummi Kultsum, dilahirkan di daersah Narawisan desa Pesayangan Kecamatan Talang Kabupaten Tegal. Seorang perempuan yang dibesarkan ditengah keluarga yang kental agamanya sehingga tidak heran jika dikemudian hari menjadi wanita serta istri solehah. Kabar desas-desus beliau akan menjadi istri KH. Sa’id memang sudah cukup lama, biarpun kala itu beliau belum cukup dewasa.
Ceritanya bermula ketika ayahandanya berangkat haji ke Tanah Harom, kebetulan disana bertemu dengan KH. Dimyati (Kedawung-Comal-Pemalang) dan bertemu juga dengan KH. Sa’id yang waktu itu juga berangkat haji. Yang jadi heran oleh Kyai Abdul Mannan, Kyai Dimyati bilang kepada beliau bahwa “Disini ada calon menantumu.” Mengapa sang Kyai berbicara seperti itu? Tanya Beliau dalam hati, padahal kala itu Nyai Jamilah masih belum cukup dewasa. Diceritakan bahwa ketika KH. Sa’id menikah dengan Nyai Hj. Jamilah ketika sekitar umur 60 tahun sedangkan Umur Nyai Hj. Jamilah jauh dibawahnya sekitar umur 31-40 tahun. Tapi sejarah membukitan ucapan KH. Dimyati, biarpun sebelum Nyai Hj. Jamilah menikah dengan KH. Sa’id sudah menikah dulu dengan orang lain[11], tapi akhirnya menikah juga dengan KH. Sa’id pada tahun 1959 M. Seperti kisahnya KH. Sa’id dengan Nyai Hj. nafisah dahulu, meskipun dengan jeda waktu yang cukup lama, dan uniknya ketika Nyai Nafisah masih sendirian (belum menikah), pernah diberi hadiah oleh ayahnya kitab qosidah (Khomriyah) karya Kanjeng Syaikh Abdul Qodir Al-Jailani dan minta supaya qosidah ini diberikan kepada kedua anaknya kelak, padahal beliau belum menikah dan mempunyai anak. Tapi kendati demikian, setelah beliau menikah dengan KH. Sa’id akhirnya beliau di anugrahi dua anak putra yaitu KH. Ahmad Sa’idi dan KH. Muh. Hasani.
Nyai Hj. Jamilah memipin pesantren dengan keadaan sendiri, karena pada waktu itu putra-putra beliau masih belum cukup dewasa serta masih dalam keadaan menuntut ilmu di pesantren. Biarpun kala itu pondok dalam keadaan fakum karena telah kehilangan pengasuhnya, Nyai Hj. Jamilah berusaha keras untuk mempertahakan keberadaan pesantren agar tidak sampai bubar, hilang tidak ada santrinya. Sembari menunggu kepulangan putranya Gus Ahmad dalam belajarnya di Malang, beliau pun tetap memberikan pengajian-pengajian di dalam maupun diluar pesantren khususnya santri perempuan dan kaum ibu-ibu.
Peranan KH. Ahmad Sa’idi bin KH. Sa’id
            Disekitar tahun 1961 M. Gus Ahmad kecil dilahirkan tepatnya tanggal 17 Romadlon 1380 H./5 Maret 1961 M. Beliau adalah putra sulung dari dua bersaudara yang dilahirkan dari rahim wanita solehah istri dari suami KH. Sa’id yang kelak akan mengeban amanat agung dari pendahulunya, yaitu memimpin sebuah Pondok Pesantren.
            Gus Ahmad kecil memang dibesarkan serta dididik di keluarga yang sangat agamis di lingkungan Pesantren. Tidak heran jika Gus Ahmad kecil suka bermain seperti anak-anak pada umunya, namun beliau tetap tidak lupa akan kewajibannya yaitu belajar ilmu agama. Beliau mulai belajar dasar-dasar ilmu agama pada sang ayah dan kakaknya sendiri Kyai Mushtofa, beberapa ilmu telah didapati walau dari keluarga sendiri. Nasihat-nasihat arif billah telah masuk dalam sanubarinya sejak usia dini, termasuk salah satu pesan untuk Gus Ahmad dari ayahnya yaitu “Nek ditakali kanca, aja wadul maring abah, tapi wadula maring gusti Allah.” Ucapan dari hati yang menusuk jiwa akhirnya masuk di kalbu sang anak yang kelak akan menjadi putra mahkota penerima estafet kepemimpinan Pondok Pesantren.
            Hasrat mencari ilmu agama mungkin menjadi pesona magis bagi Gus Ahmad ini, sehingga beliau rela ditinggalkan keluarga tercinta, sahabat serta teman-teman dekatnya hanya untuk hijrah menuju tempat impian, ladang keilmuwan yang menawarkan berjuta wawasan dan impian masa depan yaitu Pondok Pesantren. Diantara pesantren yang pernah beliau singgahi untuk mencari ilmu adalah di Kaliwungu, Termas (Gondang Legi), Ploso, Kediri, Cirebon, dan yang cukup masyhur lagi yaitu di daerah Malang Jawa Timur, Pondok Pesantren Darul Hadits Al-Fiqhiyyah asuhan Al-Ustadzul Imam Al-Hafidz Al-Musnid Al-Quttub Prof. Dr. Al-Habib Abdullah bin Abdul Qodir Bilfaqih Al-‘Alawi R.A. Ada pesan penting pada Gus Ahmad sebelum nyantri disana yang disampaikan oleh ayahnya “Misale mondok ningkana, sepuluh tahun tapi mung olih hadits siji tok orapapa, sing penting sanade muttasil iku wis cukup, bisa dadi sebab dikumpulake karo Kanjeng Nabi Saw mengko neng Akherat lan neng Darul Hadits iku tempate Syamsul Hidayah.”
            Akhirnya atas desakan keluarga dan para gurunya sekembalinya beliau menimba ilmu dalam rangka menggapai cita-citanya yang mulia, maka pada sekitar tahun 1984, beliau diperintahkan untuk memegang serta melanjutkan estafet kepemimpinan pondok pesantren Giren yang telah fakum beberapa tahun sepeninggalan kakaknya Kyai Mushtofa. Maka pada saat itu beliau mulai mendirikan sebuah majlis ta’lim dengan istilah MTDA (Majlis Ta’lim dan Da’wah Attauhidiyyah) secara tidak langsung. Seiring berjalannya waktu akhirnya pondok pesantren pun terkenal sebagai Pondok Pesantren Attauhidiyyah hingga sekarang.
            Membutuhkan waktu yang cukup lama memang untuk mengembalikan seperti semula keadaan pondok pesantren yang telah fakum beberapa tahun, bukanlah hanya dengan satu kejapan mata dimana seorang pesulap mengucapkan “Abdrakadabra” kemudian menarik dan mengeluarkan kelinci dari topi hitam. Mengembalikan dan mempertahankan keadaan pesantren yang sudah ada itu sangat sulit dibanding membuat yang baru. Walau badai menghalang, tantangan melintang tapi beliau tetap hadapi dengan penuh kesemangatan dalam rangka melestarikan amanat leluhur, yaitu “Li i’lai Kalimatillah.”
            Kemudian disekitar tahun 1990 akhirnya beliau menikah dengan Nyai Hj. Munawaroh, putri dari KH. Fakhrurozi pengasuh Pondok Pesantren Miftahul Huda, Kedungwuni Pekalongan. Dari buah pernikahan beliau sampai sekarang telah dikaruniai putra lima anak dan juga putri lima anak yang kelak mudah-mudahan akan mejadi para kholifah pendahulunya.
KH. Muhammad Hasani bin KH. Sa’id
            Dilahirkan pada tahun 1964 M. di desa Mokaha, kecamatan Jatinegara kabupaten Tegal, sebelah utara desa Cikura. Sepulangnya beliau menuntut ilmu di beberapa pesantren, diantaranya adalah Pesantren Kempek Cirebon, Lirboyo Jawa Timur, Leler Banyumas, Kaliwungu dan yang terakhir di Sarang Rembang, akhirnya beliau ikut bahu-membahu untuk mengemban estafet kepemimpinan pesantren dengan kakaknya tercinta yaitu Kyai Ahmad Sa’idi sebagai pewaris para pendahulunya pada tahun 1991 M.
            Dalam rangka melaksanakan cita-citanya yang luhur beliau berdua, yaitu ingin mempunyai tempat yang cukup memadai dan besar karena semakin banyaknya santri, maka pada tahun 1992 M. beliau berdua membeli sebidang tanah yang terletak sebelah timur pondok lama kira-kira 200 meter kearah timur di daerah perbatasan antara wilayah desa Kaligayam dan Pesayangan. Setelah tanah berhasil dibeli, sekitar tahun 1995 M. beliau memutuskan untuk segera memulai membangun asrama pondok yang baru. Pembangunan pun dimulai, bangunan yang pertama didirikan adalah sebuah bangunan yang hanya berstruktur kayu atau yang dikenal sebagai rumah panggung atau sebutan ranggon, meski pada waktu itu tanah tersebut terkenal sebagai tanah yang cukup angker.[12] Kendati demikian pembangunan pondok pesantren yang baru tetap dilaksanakan. Waktu demi waktu pun berjalan, setelah beberapa lama kemudian berlanjut dengan membangun yang semi permanen dengan membuat beberapa petak kamar yang menghadap ke arah timur. Bangunan pesantren yang setengah jadi itu akhirnya mulai digunakan untuk aktifitas santri, karena pesantren yang lama sudah cukup padat, akhirnya santri pun dibagi menjadi dua, ada yang menempati bangunan lama dan ada yang menempati bangunan yang baru. Kegiatan santri pun ikut terbagi dua baik pengajian rutin atau kegiatan belajar mengajar di siang hari, semuanya kebanyakan dilaksanakan di gedung baru. Kemudian sekitar tahun 2000 M., semua kegiatan di preoritaskan dan berpindah di gedung yang baru.
            Sebuah pesantren yang tanpa papan nama ini akhirnya berkibar ditengah-tengah masyarakat luas, biarpun kala itu banyak masyarakat yang beranggapan jika nyantri atau mengaji di Attauhidiyyah Giren akan demikian dan lain sebagainya. Banyak masyarakat yang membicarakannya serta mencibir pesantren ini hingga sampai terdengar oleh telinga-telinga para calon santri yang tidak menghiraukan apa perkataan masyarakat tentang pesantren ini. Akhirnya santripun yang berdatangan dari berbagai wilayah, baik dari sekitar Giren maupun luar daerah Giren itu sendiri, baik dari dalam maupun luar kota, dari Brebes, Pemalang, Pekalongan, Cilacap, Cirebon, Kuningan, Batang, Demak, Malang, Banjarnegara, Purbalingga, Indramayu, Banten dan lain sebagainya, hingga ada yang dari luar jawa sepeti Jambi, Riau bahkan Irian Jaya, dari mulai puluhan hingga ratusan bahkan mencapai ribuaan sampaat sekarang ini dan mudah-mudahan semakin bertambah.
            KH. Moh. Hasani pada tahun 1994 berangkat ke Mekkah untuk menunaikan ibadah Haji dan Umroh, kemudian pada tahun 1996 M. barulah menikah dengan seorang wanita bernama Nyai Maesaroh yang berasal dari Tuban Jawa Timur. Dari buah pernikahan beliau sekarang telah dikaruniai empat anak putra dan tiga anak putri.
Attauhidiyyah Hujan Air Mata
Kemudian pada tahun 2005 M. karena melihat perkembangan santri semakin cepat dan karena banyaknya santri lebih-lebih santri putri, maka beliau berdua memutuskan untuk membangun asrama lagi untuk santri putri di sebelah utara asrama putra yang lebih dahulu berdiri. Namun sayangnya ketika pembangunan belum selesai, Ibu pondok pesantren Nyai Hj. jamilah binti KH. Abdul Mannan istri KH. Sa’id meninggal dunia, yang bertepatan pada tanggal 30 Dzulqo’dah 1426 H./31 Desember 2005 M. setelah mengalami sakit yang cukup parah. Sabtu sore yang mendung, gerimis rintik yang turun membasahi, banyak orang-orang berlarian kesana-kemari, hati mulai helisah gundah meyelimuti, mungkin ini gambaran kebingungan hati setiap santri yang mengalami, sampai akhirnya kabar meninggalnya Nyai Jamilah istri tercinta dari muasis pondok pesantren masuk ke telinga santri, saat itu waktu bagai berhenti, seolah tidak percaya akan itu semua, tapi ternyata memang benar kabar itu adanya, akhirnya Giren bersedih, Attauhidiyyah pun menangis,  seorang wanita solehah saksi sejarah berdirinya Attauhidiyyah telah diambil oleh pemiliknya  untuk selamanya, sebelum bisa melihat asrama putri berdiri secara sempurna. Kemudian jenazah waita solehah tersebut dikebumikan pada esok harinya, bertepatan dengan tanggal 1 Dzulhijjah 1426 H./1 Januari 2005 M. di pemakaman umum masyarakat Giren satu komplek dengan suaminya yaitu KH. Sa’id bin KH. Armia.
            Dengan kesemangatan dan kesungguhan serta pertolongan yang maha kuasa pada beliau berdua, biarpun badai menghadang, ombak menerjang, embun menghalangi penglihatan, asrma putri pun bisa diselesaikan sampai sekarang, beridiri megah yang dihuni oleh ratusan santri baik dari dalam maupun luar kota sampai saat ini.
Perkembangan Attauhidiyyah Dari Segi Bangunan Fisik
            Pondok Pesantren Attauhidiyyah dari tahun ketahun semakin berkembang, baik dari segi bangunan maupun pendidikannya. Perkembangan Pondok Pessantren Attauhidiyyah bukanlah tanpa halangan serta rintangan. Mungkin tidak terhitung berapa banyak cobaan dan rintangan yang beliau berdua alami. Apalagi  ketika itu masa-masa order baru yang sangat terkenal dengan petinggi-petingginya yang tidak suka dengan para ulama. Banyak tekanan fisik maupun mental yang di alami oleh Gus Ahmad pada waktu itu. Berkat pertolongan Alloh SWT. serta kegigihan beliau, Attauhidiyyah bisa berdiri kokoh sampai saat sekarang. Pondok Pesantren yang tanpa papan nama ini dari waktu kewaktu semakin kenal se-antero negeri, juga semakin banyak santrinya, yang asalnya hanya puluhan hingga sekarang semakin meningkat sampai menembus angka lebih dari ribuan.
          Dibidang bangunan fisik Pesantren Attauhidiyyah juga cukup pesat perkembangannya dari waktu ke waktu. Pesantren Attauhidiyyah yang dulu di kenal hanya dengan sebuan Pondok Giren saja, berawal dari asrama Pondok lama yang terletak di belakang Komplek Masjid Ubaidah Giren ketika zaman KH. Ubaidah yang sekarang di jadikan gedung Madrasah oleh warga desa Giren. Kemudian asrama Pondok akhirnya pindah di kediaman KH. Sa’id sebelah Selatan masjid, serta rumah yang terletak disebelah Timur rumah KH. Sa’id, masih disebelah selatan masjid, yang hanya mempunyai beberapa kamar saja pada saat itu, sampai asrama pondok baru yang asalnya sebuah sebuah bangunan non premanent (ranggon) serta beberapa petak kamar yang diseket dengan papan (triplek), sekarang sudah mempunyai bangunan berlantai dua yang cukup megah dengan arsitektur modern serta dilindungi oleh dua pintu gerbang yang cukup tinggi, jalan masuk pun ikut dihotmik dan paving blok. Mempunyai lebih dari tujuh puluh ruangan berukuran 3 x 6 meter, khusus bagian santri putra yang didepannya terdapat taman-taman dan kolam ikan, serta dua aula besar yang berguna untuk melaksanakan sholat berjamaah, gedung perpustakaan yang menawarkan kitab-kitab dari beberapa disiplin ilmu dan beberapa ruang besar serbaguna. Di dalam komplek asrama putra juga dilengkapi dapur umum, toko kitab/koperasi “Rizquna” yang menyediakan kitab-kitab cetakan lokal maupun luar negeri, ruang Lab. Komputer, ada juga toko pakaian “Al Burdah”, Wartel (warung telefon) dan beberapa bangunan kantin yang cukup besar guna memenuhi kebutuhan jasmani  bagi setiap santri, juga puluhan MCK (wc serta kolam) umum, kolam untuk sekedar berwudlu, mandi dan lain sebagainya, serta berdiri disampingnya tempat mencuci pakaian outdoor[13] bagi para santri.
            Meskipun demikian megahnya, tetapi pondok pesantren Attauhidiyyah tidak menghilangkan situs sejarahnya yaitu bangunan rumah panggung (ranggon) saksi bisu evolusi perkembangan peradaban Attauhidiyyah, yang sampai sekarang ini masih berdiri cukup kokoh. Walaupun sekarang keberadaannya telah dipindahkan dari aslanya, tapi bangunan rumah panggung yang terbuat dari kayu yang sekarang berada di pinggir pintu gerbang kedua asrama Attauhidiyyah ini, akan tetap dikenang dan bersejarah disetiap sanubari santri para santri-santrinya dari masa dahulu hingga sekarang.
            Adapun perkembangan yang paling mutahir pada saat ini di Attauhidiyyah khususnya asrama putra adalah telah dikelolanya limbah tinja santri yang dijadikan sebagai biogester[14] yang telah diresmikan oleh Pemda Propinsi Jawa Tengah pada awal-awal 2011 kemarin, guna memenuhi kebutuhan memasak bagi santri khususnya santri putra.
            Pondok Pesantren Attauhidiyyah pada tahun 2011 M. juga dinobatkan sebagai Pondok Pesantren yang paling bersih kedua se Jawa Tengah oleh Pemda Jateng dengan diberi penghargaan berupa piala yang diberikan oleh Pemda Jateng.
            Di asrama putri pun tidak kalah megahnya dengan asrama putra. Disana juga berlantai dua dengan model arsitektur modern pula, juga terdapat pula kantin, dapur umum serta berpuluh-puluhan sarana wc umum, guna memenuhi kebutuhan para santri putri, serta banyaknya pepohonan rindang, pertamanan dan kolam ikan di depan asrama tersebut.
            Biarpun sudah memiliki dua bangunan asrama santri yang cukup besar, namun Attauhidiyyah masih ingin meneruskan bangunannya guna memenuhi kebutuhan santri yang setiap tahunnya selalu meningkat.
            Kendati demikian bukan berarti pondok lugu yang berada di sebelah selatan masjid Ubaidiyyah terbengkalai. Pondok lugu yang asalnya adalah sebuah rumah milik kyai sepuh[15] merupakan situs bersejarah beradaban tumbuh kembangnya Attauhidiyyah dari masa ke masa, serta saksi bisu napak tilas sang Kyai sepuh kini telah berubah dan menjelma menjadi bangunan yang cukup megah dua lantai dan beralaskan batu granit hitam yang bisa membuai setiap orang yang menginjakkan kaki kedalamnya, serta dilengkapi dengan beberapa kamar khusus untuk pengasuh dan keluarga, juga kamar umum yang diperuntukkan untuk santri putri.
            Walaupun demikian namun bangunan lama tidak dihancurkan semua, ada sebuah kamar yang bangunannya tidak dibongkar semua, karena disitulah kamar kyai sepuh dikala beliau istirahat dulu, sehingga bangunan tersebut hanya dibalut lagi dengan lapisan semen yang baru agar tidak merusak seluruh situs sejarah dalam rumah itu.
Perkembangan Attauhidiyyah di Bidang Pendidikan
            Mula-mula metode pendidikan bagi santri yang berdomisili di pesantren yang terkenal sebagai pesantren Attauhidiyyah ini mengadopsi metode belajar dari Timur Tengah, tanpa kelas hanya metode khalaqoh[16] saja, namun seiring waktu berjalan, tahun demi tahun metode pendidikan pun diubah dengan mengikut metode-metode pesantren lokal, mungkin karena dirasa lebih efektif hingga akhirnya dibuat kelas-kelas yang disebut dengan istilah isti’dad yang berjumlah enam tingkatan dan tamhidi yang berjumlah tiga tingkatan. Setelah beberapa tahun berjalan, kemudian menemukan metode lagi yang lebih efektif, akhirnya lagi-lagi metode tersebut juga ikut diganti dengan metode baru dengan istilah ibtida, tsanawi dan aliyah hingga sampai sekarang.
            Dari mutu pelajarannya pun banyak mengalami peningkatan yang cukup membanggakan, contoh kecil ketika pada tahun 2008 M. santri Attauhidiyyah mengukir sejarah peradaban baru, mematahkan persepsi masyarakat yang mengatakan bahwa, mondok di Attauhidiyyah hanya bisa faham ilmu tauhid saja, ternyata itu semua tidak benar, karena pada tahun tersebut merupakan tahun revolusi santri bisa mengkhatamkan sekaligus menghafalkan kitab Alfiyah yang jumlahnya 1002 nadhom lebih ini. Alfiyah adalah sebuah nama kitab yang membahas tentang ilmu gramatika ilmu bahasa arab, merupakan salah satu kitab yang menjadi momok menakutkan bagi sebagaian santri karena dikenal sebaga kitab yang cukup sulit dihafal. Sungguh prestasi yang sangat membanggakan bagi Attauhidiyyah pada waktu itu. Yang patut disyukuri lagi adalah meningkatnya anak-anak yang hafal kitab tersebut hingga sampai saat ini. Selain ilmu tauhid (Ediologi) santri-santri di pesantren Attauhidiyyah juga mempelajari banyak disiplin ilmu dari mulai ilmu Tasawuf (Etika hati), Fiqih, Nahwu dan Shorof (Gramatika Arab), Tajwid, Tafsir, Hadits, Mantiq (Filsafat), juga ilmu Falak (Perbintangan). Seiring perkembangannya, pendidikan yang dicanangkan pemerintahpun masuk guna memenuhi tuntunan umat. Karena masih banyak asumsi masyarakat yang beranggapan ketika ada pesantren tidak ada sekolah formalnya maka dianggap ketinggalan zaman, kuno dan lain sebagainya, yaitu pendidikan setara SMP dan SMA atau yang dikenal dengan sebutan Kejar Paket B dan C.
            Adapun pengajian bagi santri yang tidak berdomisili di pesantren (wong ta’lim), model pengajian dari dulu sampai sekarang masih tetap tidak berubah, yaitu setiap malam Ahad dan Kamis bagi laki-laki, serta hari Selasa pagi untuk ibu-ibu. Sampai sekarang pun pengajian rutinan itu semakin berkembang dengan dihadiri oleh ratusan hingga ribuan jamaah yang sampai saat ini, diisi dengan pembacaan kitab tauhid karya-karya Al-Imam As-Sanusi dan kitab-kitab karya Al-Imam Al-Ghozali. Ada juga Madrasah Diniyyah Attauhidiyyah (MDA/MADINAH) sebuah wadah pendidikan bagi orang yang tidak berdomisili di pesantren, namun masih ingin tetap belajar ilmu agama, dari mulai kelas Playgroup sampai kelas bapak-bapak yang dilaksanakan pada sore hari untuk perempuan dan malam hari untuk laki-laki selain hari dan malam jum’at dan bertempat di Rusunawa.[17]
            Pondok Pesantren Attauhidiyah semakin berkembang dinaungan MTDA (Majlis Ta’lim dan Da’wah Attauhidiyyah), selain menaungi kegiatan dalam pondok pesantren, MTDA juga menaungi Pondok Pesantren di Cikura, Bojong. MTDA selain menaungi kegiatan-kegiatan didalam pesantren, juga menanungi kegiatan-kegiatan diluar pesantren, khususnya bagi orang-orang yang tidak bisa mengikuti serta berdomisili di pesantren, yaitu dengan dibuatkan pengajian kelompok atau yang dikenal istilah Lokalan, istilah bagi kegiatan pengajian kelompok yang diadakan perminggu, serta Rayonan, kegiatan yang dilaksanak perbulan, baik di wilayah kota Tegal maupun Kabupaten Tegal, bahkan sampai saat ini sudah semakin berkembang hingga keluar kota seperti di daerah Pemalang, Brebes, Purbalinga, Banjarnegara, Batang, Pekalongan, juga daerah ibu kota Jakarta serta bagian Serang, Banten.
Pondok Pesantren Syaikh Armia Cikura
            Entah mengapa sebuah pesantren yang terletak di lereng bukit di pegunungan Slamet di desa Cikura kecamatan Bojong kabupaten Tegal dinamakan Pondok Pesantren Syaikh Armia. Pesantren ini berdiri dibawah naungan Majlis Ta’lim Aqou’idudin, terbukti ada tulisan yang cukup besar yang terdapat diatas pintu masuk aula disana. Memang benar dalam sejarahnya, pesantren tersebut masih terdapat hubungan erat dengan pondok pesantren Attauhidiyyah Giren yang dahulunya hanya dikenal dengan pondok Giren saja, asuhan dari KH. Abu Ubaidah. Pondok Pesantren Syaikh Armia adalah sebuah pesantren yang dimiliki oleh ayahanda KH. Sa’id, sepeninggalannya KH. Armia, pesantren tersebut diteruskan oleh putra beliau yaitu Kyai Rois dan diteruskan kembali oleh KH. Sanadi adik dari KH. Sa’id sendiri hingga akhirnya beliau menghembuskan nafas terakhir pada tahun 1984 M. keberadaan pesantren fakum lagi. Dahulunya pondok pesantren syaikh Armia hanya sebuah rumah yang memang sering digunakan untuk pengajian para santri juga warga sekitar. Tapi seiring berjalannya waktu pondok ini pun mendapatkan perubahan yang cukup segnifikan. Pada tahun 1992 M. KH. Ahmad mulai membangun lagi pesantren yang telah fakum ini dengan mengadakan kegiatan pengajian di pesantren tersebut. Pada mulanya pengajian dilaksanakan pada setiap malamjum’at manis yang dilaksanakan di rumah lugu, sebelum diadakannya Jum’at kliwonan hingga tahun 1997 M. Gerak langkah beliau di Cikura tidak sendirian, melainkan ditemani oleh sepupu beliau yaitu Gus Hasanudin, putra KH. Sanadi, apalagi ketika masa-masa pembebasan tanah warga yang terdapat disekitar pesantren. Ketika beliau ingin memperluas area pesantren, cekcok mulut, cacian dan lain sebagainya merupakan beberapa cobaan yang beliau alami ketika itu. Dengan penuh perjuangan akhirnya setelah beberapa tahun warga sekitar pun mau pindah ke tanah tersebut, ada yang tanahnya hanya dibeli saja, ada yang hanya ingin dipindahkan namun minta dibuatkan rumah yang lebih bagus dan lain sebagainya. Beliaupun mengiyakan permintaan warga-warga tersebut, karena sang Kyai tidak bisa berdomisili lama di pesantren Cikura ini, maka di tahun 1993 M. beliau mengamanahkan keberadaan pesantren ini pada salah satu murid ayahandanya, yaitu Kyai Bisri.
            Kemajuan Attauhidiyyah di Cikura telah terbukti dengan dibangunnya dua buah Aula besar disana dan adanya gedung serbaguna berlantai dua yang sekarang dijadikan sebagai kantor Pondok dan Sekretariat MTDA untuk wilayah Tegal bagian Selatan, serta dibangunnya beberapa ruangan untuk kelas dan asrama untuk kamar para santri khususnya santri putra, juga diselesaikannya pembangunan asrama bagi santri putri. Attauhidiyyah Cikura dilengkapi dengan puluhan sarana wc umum yang dibangun dibawah tanah, beberapa rumah asatidz dan ruangan yang cukup panjang dan besar sebagai ruang tamu, juga tempat peristirahatan bagi pengasuh ketika bertandang ke Cikura. Kedua aula besar disana mengapit beberapa makam, diantaranya adalah makam sang pendiri yaitu KH. Armia bin Kyai Kurdi yang notabene kakek dari KH. Ahmad serta KH. Muh. Hasani, seorang waliyullah juga Ulama yang alim serta abid teman baik dari KH. Ubaidah Muasis Pondok Giren sekaligus besan beliau, juga makam KH. Sanadi, KH. Rois, Nyai Hj. Aliyah serta Kyai Tarmuji (kakak kandung Nyai Hj. Aliyah).
            Di Attauhidiyyah Cikura juga mempunyai lahan parkir yang sangat luas baik didalam atau diluar area pesantren. Adapun rumah lugu peninggalan KH. Armia pada masa dahulu pun ikut direnovasi menjadi bangunan yang cukup mewah, disamping bangunan tersebut terdapat sebuah sumur yang konon katanya air sumur tersebut bagai air zam-zam dari dahulu hingga sekarang air di dalam sumur tersebut tetap keluar dan masih layak dikonsumsi.[18] Disediakan juga ruangan ruangan khusus untuk pengasuh dan keluarga ketika berkunjung kesana, juga beberapa kamar yang diperuntukkan bagi santri putri yang dipercaya untuk bertugas membantu dirumah tersebut.
            Waktu demi waktu orang-orang lebih mengenal pesantren yang dahulunya dinamakan Pondok Syaikh Armia dengan sebutan Pondok Pesantren Attauhidiyyah Cikura, biarpun tulisan Majlis Ta’lim Aqo’iqudien Pondok Syaikh Armia masih terpampang diatas pintu masuk aula timur disana. Sangatlah maklum karena pewaris juga pengasuh Pondok Pesantren Attauhidiyyah di Cikura dan di Giren pada masa sekarang adalah orang yang sama yaitu KH. Ahmad Sa’idi serta adik beliau KH. Muhammad Hasani.
Dalam perkembangannya Pondok Pesantren Attauhidiyyah Cikura juga hampir sama dengan Attauhidiyyah di Giren, namun sayang jumlah santri di Cikura pada masa sekarang tidak sebanyak di Giren, mungkin kurang lebih hanya 300 jumlah santri seluruhnya, tidak seperti di Giren yang sekarang sekitar 1700 santri, baik putra maupun putri. Meskipun sedikit santrinya pun bukan hanya dari wilayah sekitar saja, melainkan ada juga yang dari luar kota seperti daerah Pemalang, Pekalongan, Purbalingga, Brebes, Jakarta dan lain sebagainya.                                                                        Walaupun KH. Achmad Sa’idi serta KH. Muh. Chasani lebih banyak berdomisili di Giren namun beliau berdua tetap memonitor tentang berbagai kegiatan yang ada di pondok pesantren Attauhidiyyah Cikura, pasalnya beliau selalu bolak-balik kesana pada setiap malam Selasa dan Jum’at guna melakukan pengajian rutin seperti yang dilakukan di Giren. Dalam masalah kegiatan semua kegiatan rutinan santri disana sama hampir sama dengan kegiatan yang dilakukan oleh santri Attauhidiyyah Giren, yang menjadi berbeda adalah pengajian rutinan yang dilaksanakan oleh warga sekitar (wong ta’lim) jika disana dilaksanakan malam Selasa dan malam Jum’at untuk setiap minggunya, juga malam malam Jum’at kliwon dan Selasa manis untuk setiap bulannya. Pengajian yang dilaksanakan pada kedua malam sakral tersebut dihadiri oleh ribuan jama’ah baik dari kabupaten Tegal sendiri atau dari luar daerah. Acaranya sama seperti biasa yang diadakan di Attauhidiyyah Giren, namun ditambah dengan istighozah akbar. Ketika acara istighozah sedan dimulai para jama’ah terhanyut dan tunduk dalam suasana spirittual yang khidmat nan sakral, banyak yang terdengar jeritan taubat serta banjir air mata penyesalan dalam taubat jika sang pengasuh telah membacakan doa istighosah tersebut.
Makam Kramat Syaikh Armia bin Kyai Kurdi
            KH. Armia memang bukanlah orang biasa, bukti cukup jelas adalah ketika setelah kewafatan beliau dalam jarak beberapa waktu, bermula pada cerita seorang habib di daerah Jawa Timur yang melihat pancaran cahaya di ufuk barat yang menjulang tinggi ke langit, sang habib pun penasaran, cahaya apakah itu? Tanya habib dalam hati. Kemudian sang habib dengan hati penasaran dan keingintahu yang tinggi, beliau memutuskan untuk mencari sumber cahaya itu, akhirnya beliau melakukan rihlah/perjalanan dari tempat satu ke tempat lain, dari kota satu ke kota lain hingga akhirnya sampailah beliau di desa terpencil di balik bukit-bukit diantara lebatnya hutan, yaitu desa Cikura kecamatan Bojong kabupaten Tegal. Sesampainya beliau disana beliau kaget serta tercengang ternyata pancaran cahaya yang dilihatnya itu bukanlah pancaran cahaya sebuah lampu melainkan pancaran cahaya yang terpancar keluar dari sebuah makam Kramat. Akhirnya beliaupun bertanya pada warga sekitar tentang siapakah yang terdapat dalam makam Kramat ini? Dijawab beliau adalah KH. Armia, akhirnya beliaupun berziyarah pada makam tersebut hingga diberi pertolongan oleh Allah Swt untuk bisa berbincang-bincang dengan sohibul maqom, terjadilah tanya jawab antara sohibul maqom dan sang habib. “Assalamu’alikum wahai sohibul maqom, siapakah anda?” Tanya habib, sang Kyai menjawab “Wa’alaikum salam warohmatullah, saya Armia. Anda siapa?” “Saya Abdullah Al-Habsyi dari Pasuruan Jawa Timur, saya datang kemari karena melihat sebuah pancaran cahaya yang sangat terang di ufuk barat yang ternyata cahaya itu bermuara disini,”[19] jawab habib. Kemudian sang habib kembali bertanya “Mengapa makam sang kyai tersebut bercahaya? Amalan apa yang anda lakukan sehingga memiliki kedudukan seperti ini”. Setelah lama waktu berjalan akhirnya sang habib mendapatkan jawabannyang cukup puas, kendati demikian sang habib tetap penasaran akan jawaban tersebut, jawabannya adalah bahwa sang kyai mendapatkan derajat seperti ini karena kegigihannya mengajari bab Thoharoh (sesuci) pada masyarakat, juga tentang ilmu-ilmu syarat/rukun sholat serta mengajarkan ilmu tauhidnya Al-Imam As-Sanusi. Setelah itu sang habib memohon kepada sang kyai agar beliau berkenan mengajari ilmu-ilmu yang dimaksud oleh kyai itu pada sang habib. Tetapi sang kyai menjawab bahwa beliau itu telah istirahat, malah beliau menyuruh habib tersebut untuk mendatangi putra beliau KH. Sa’id di Giren. Diijabhilah saran sang Kyai oleh habib tersebut. Setelah beberapa waktu kemudian pergilah sang habib ke rumah KH. Sa’id di Giren, sesampainya beliau disana beliau menceritakan tentang semua kejadian yang telah beliau alami hingga perjalanannya sampai ke Giren, kemudian sang habib meminta kepada Kyai Sa’id agar supaya makam KH. Armia atau ayahandanya di khauli setiap tahun karena beliau ini kekasih Allah (seorang wali).
            Maka dari itu pada setiap tanggal 27 Muharram[20] khaul KH. Armia diadakan di desa Cikura. Kendati demikian acara khaul yang sudah dilaksanakan sejak puluhan tahun yang lalu hingga sekarang semakin banyak dikunjungi oleh banyak orang, baik dari dalam maupun luar kota, serta dari dalam maupun negeri, baik tamu sipil maupun sipatnya kenegaraan, pengunjung yang asalnya ratusan hingga sekarang di setiap acara khaul tersebut dihadiri lebih dari puluhan ribu pengunjung. Dari kalangan pejabat tinggi yang pernah dalam acara khaul adalah KH. Abdurrohman Wahid (Gusdur),[21] presiden RI bersama rombongan ketika tahun 2001 M., Drs. Surya Darma Ali, Menteri Agama pada tahun 2010 M., Heru Lelono, Utusan SBY, Raja Samo-samo dari Maluku, Raja Banten dan masih banyak lagi. Adapun tamu kehormatan dari luar negeri dikalangan ulama adalah dari Hadromaut (Yaman Selatan) Habib Salim bin Umar Asy-Syatiri, Habib Ali (Sewun, Yaman), Syaikh Bilal Al-Khumaisyi (Libanon), serta dari Australia yang masih banyak lagi para habaib dari Indonesia sendiri.
            KH. Armia adalah seorang ulama yang sangat rendah hati serta punya sifat belas kasihan yang tinggi baik kepada manusia dan juga binatang. Diceritakan bahwa ketika beliau berjalan dan bertemu dengan gerombolan butrung-burung kecil yang sedang mencari makanan di tanah yang akan beliau lewati, beliau tidak melanjutkan perjalanannya karena takut burung-burung itu akan terbang karena terusik oleh perjalanannya beliau, malah beliau lebih memilih supaya mecari jalan lain dari pada mengusik ketenangan gerombolan burung yang sedang mencari makan itu. Subhanallah.
Serta sebuah kisah beliau ketika dalam perjalanan menuju tempat pengajiannya diluar desa Cikura, beliau mendapati seseorang yang terlihat sedang kesusahan membawa beban berat serta tergesa-gesa, lalu san Kyaipun bertanya pada orang tersebut: ”Wahai bapak,mengapa anda gugup dan terlihat kesusahan membawa beberapa barang yang terlihat berat itu?” Bapak tersebut menjawab: “Iya, saya terasa tergesa-gesa karena akan menghadiri pengajian, tapi sayang bawaan ini sangat banyak dan berat, saya takut teringgal pengajian.”
Melihat itu semua, maka hati sang Kyai pun iba dan akhirnya membantu dan membawakan barang bawaan orang tersebut hingga sampai tempat pengajiannya. Berterimakasihlah orang tersebut pada sang Kyai. Pengajian pun segera dimulai, sang Kyai pun akhirnya datang duduk di depan para warga yang telah lama menunggu kedatangannya. Orang tersebut pun ikut duduk dan mendengarkan petuah dari sang Kyai. Yang menjadi kaget dari orang tersebut adalah ketika sang Kyai sedang mengajar dan terkenal itu adalah seseorang yang tadi membantunya, dalam hatinya dia merasa malu karena telah dibantu dan merepotkan sang Kyai, sungguh mulia hati sang Kyai itu hingga rela berkorban demi membantu sesama.
Mudah-mudahan perkembangan Attauhidiyyah di Cikura serta di Giren semakin besar juga pesat biarpun bangunan fisik berbentuk modern tapi bangunan pada sanubari setiap santrinya adalah bangunan salafi dalam artian masih tetap berpegangteguh pada tali ajaran Ahlussunnah Wal Jama’ah, serta mudah-mudahan selalu mendapatkan Rahmat serta lindungan dari Allah SWT baik pendirinya, pengasuhnya, keluarganya, santrinya juga pondoknya serta orang-orang yang ikut andil dalam mempertahankan serta mengembangkan Pondok Pesantren ini.
Dan mudah-mudahan semua santri dan alumni yang pernah mengenyam ilmu di Attauhidiyyah mendapatkan ilmu yang manfaat bagi dirinya, keluarganya, bila perlu untuk masyarakat pada umumnya, juga mendapatkan kemanfaatan di dunia dan di akhirat. Amin Ya Robbal ‘Alamin.

[1]) Salafi
[2]) Menurut Ust. Hasanudin putra KH. Sanadi (Cucu KH. Armia) bahwa yang mengasuh KH. Armia ketika kecil semeningalnya ayah dan ibu beliau adalah kakak permpuan beliau sendir, yaitu Nyai Awan.
[3]) Sebutan bagi putra seorang Kyai
[4]) Kyai Masru’an bin Kyai Ma’ani adalah suami pertama Nyai Nafisah sebelum menikah dengan Kyai Sa’id dan dikarunia seorang putra, yaitu Kyai Ma’arif.
[5]) Beliau menikah yang kedua kali dengan seorang Habib bernama Habib Hasan yang mempunyai dua putra, yaitu Habib Ali dan Habib Abdullah. Suami beliau yang pertama adalah Kyai Muhtamil.
[6])  Dukuh Blanten (sebeah Barat desa Cikura).
[7]) Beliau meninggal di Giren dan dimakamkan di giren juga, menikah dengan Nyai Umamah, Putri dari pada Putrinya KH. Ubaidah (Cucu KH. Ubaidah) yaitu Nyai Kafsah. Sebelum meninggal dunia, dua atau tiga hari beliau didatangi oleh Bidadari, tapi beliau tidak mau karena itu semua bukan tujuan utamanya.
[8]) Mulai dicetak tahun 1959 M. dipercetakan toko H. Abdul Jalal Ridwan, Tegal
[9]) Ada yang mengatakan dengan Khodimnya.
[10]) Beliau adalah istri yang keempat dari KH. Sa’id, yang pertama seorang wanita di daerah Cikura, yang kedua Nyai Mutiah (Bumiayu), yang ketiga Nyai Nafisah (Putri KH. Abu Ubaidah) dan yang keempat Nyai Hj. Jamilah sendiri.
[11]) Nyai Jamilah dari suami yang pertama dikarunai satu anak permepuan.
[12]) Sebuah tempat yang banyak dihuni oleh makhluk halus.
[13]) Ruangan terbuka
[14]) Semacam gas yang berguna sama persis dengan gas alam yang ada di pasaran sebagai sarana memasak.
[15]) KH. Sa’id bin Armia
[16]) Belajar kelompok
[17]) Sebuah gedung yang cukup besar yang terletak disebelah utara Gedung Pondok Pesantren.
[18]) Ketika zaman jepang air sumur tersebut setiap tiga bulan sekali diteliti dan dikatakan bahwa kualitas air sumur tersebut sangat baik.
[19]) Pancaran cahaya di makamkeramat bukan hanya terlihat dari Jawa Timur saja, melainkan sampai Jawa Barat bahkan sampai ke luar Negeri (Arab).
[20]) Menurut cucu KH. Armia, Ust. Hasanudin, meninggalnya KH. Armia adalah di bulan Dzulhijjah, adapun khaulnya dilaksanakan bulam Muharram karena ada kejadian seperti itu.
[21]) Ketika Beliau hadir di Khaul KH. Armia dan bertemu dengan Nyai Hj. Jamilah lantas beliau meminta di doakan, akhirnya Nyai Jamilah pun mendoakannya agar tetap menjadi Presiden RI, akan tetapi yang dimaksud Gusdur bukanlah itu, Beliau meminta agar Nyai Hj. Jamilah mendoakan agar Gusdur meninggal dunia dalam keadaan Husnul Khotimah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

KEBIADABAN KOMUNIS / PKI di Indonesia

KEBIADABAN KOMUNIS / PKI Terjadi di beberapa daerah diantaranya: - Tegal dan sekitarnya Kekejian pertama PKI yaitu pada penghujung ta...